PP Reklamasi dan Pascatambang Pertegas Sanksi Pencabutan Izin -->

Iklan Semua Halaman

PP Reklamasi dan Pascatambang Pertegas Sanksi Pencabutan Izin

Sabtu, 08 Januari 2011
MOKI, Pemerintah mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemegang izin pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan benar. Jika melanggar, sanksi maksimal pencabutan izin siap dijatuhkan.

Hal ini tertuang Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Dalam PP yang baru disahkan 20 Desember lalu ini, Pemerintah mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus Eksplorasi untuk melakukan reklamasi. Reklamasi  tersebut dilakukan terhadap lahan yang terganggu pada kegiatan eksplorasi.

Sementara, bagi pemegang IUP dan IPUK Operasi Produksi, selain reklamasi juga diwajibkan untuk melakukan pascatambang pada lahan  terganggu  pada  kegiatan pertambangan. Kewajiban ini menyangkut baik kegiatan penambangan terbuka maupun penambangan bawah tanah.

Reklamasi dan Pascatambang adalah konsep yang dianut dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Reklamasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali  sesuai peruntukannya.

Adapun kegiatan pascatambang didefinisikan sebagai kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir dari sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Tujuannya,  untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan  fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Bambang Setiawan, substansi mengenai pentingnya reklamasi dan pascatambang bagi pemegang IUP dan IUPK ini sudah ada sebelumnya. Namun, sifatnya hanya pedoman dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM. “Kalau pedoman kan tidak wajib diikuti, padahal ini hal penting,” ujarnya via telepon pada Wartawan, Rabu (05/1).

Apalagi, Bambang menjelaskan, sejak tahun 2009 pemberian izin tersebar ke seluruh daerah. Kepala daerah berwenang memberikan izin bagi pengusaha pertambangan. Hal ini sesuai Pasal 37 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kewenangan bupati/walikota, apabila wilayah IUP (WIUP) berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota tersebut. Sementara, kewenangan gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat.

Untuk perizinan kepada menteri, dapat dilakukan untuk WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat




Dalam PP No. 78 Tahun 2010, setiap calon pemegang Pemegang IUP dan IUPK Eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi yang dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi (RKAB).  RKAB ini berjangka waktu lima tahun dengan rincian rencana tiap tahunnya.

Minimal, RKAB harus memuat penjelasan mengenai tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang, rencana pembukaan lahan, serta program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang baik sementara maupun permanen. Juga harus memuat kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir, serta rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.

Kewajiban pascatambang bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi minimal harus memuat beberapa hal. Pertama, profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan, ronalingkungan awal, dan kegiatan usaha lain di sekitar tambang. Kedua, deskripsi kegiatan pertambangan, meliputi keadaan cadangan awal, sistem dan metode penambangan,pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang;.

Pemegang izin juga wajib memiliki rencana organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang, kriteria keberhasilan pascatambang, dan rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Lalu, harus ada perhitungan mengenai rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan cadangan tersisa, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah, serta biologi akuatik dan teresterial.

Terakhir, rencana pascatambang harus memuat program yang meliputi reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang, pemeliharaan hasil reklamasi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan.

Rencana reklamasi dan pascatambang ini harus diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan Izin untuk IUP dan IUPK Eksplorasi maupun Operasi Produksi. Pengajuan izin ditujukan pada pejabat berwenang sesuai tingkatannya.

Penilaian atas rencana reklamasi harus diberikan dalam jangka waktu 30 hari kalender oleh pejabat pemberi izin. Untuk rencana pascatambang, waktunya lebih panjang, 60 hari.

Selanjutnya, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan.kegiatan reklamasi setiap tahun kepada pejabat pemberi izin. Laporan ini akan dievaluasi dalam waktu 30 hari kalender sejak diterimanya laporan.

PP No. 78 Tahun 2010 ini menyebutkan, ada ancaman sanksi bagi pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai aturan. Ada tiga bentuk sanksi yang diatur dalam PP ini yaitu peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, atau pencabutan IUP, IUPK, atau IPR. Ditegaskan, pemberian sanksi tidak tidak menghilangkan kewajiban pemegan IUP untuk melakukan reklamasi dan pascatambang meskipun berupa pencabutan IPU itu sendiri.

Karena itu, menurut Bambang, peran pemberi izin untuk menelaah rencana reklamasi dan pascatambang sangat besar. Ia menegaskan, kepala daerah harus mampu menilai dengan baik pengajuan izin dari pengusaha. “Pemda harus cermat. Perhitungan yang dilakukan sangat penting. Saya berharap kepala dinas kehutanan di setiap daerah benar-benar orang yang paham dan mengerti. Kalau tidak, resikonya ‘dimainkan’ pengusaha nantinya,” pungkasnya.